Keterasingan Sunnah Dan Ahlu Sunnah Di Tengah Maraknya Bid'ah Dan Ahli Bid'ah
Ikmal
|
Thursday, 14 October 2010
|
0 comments
Oleh : Ustadz Abu Ihsan al Atsari
Ucapan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma ini menjadi peringatan bagi siapa saja, bahwa kwantitas atau jumlah bukan ukuran kebenaran. Salah satu kaidah yang telah disepakati oleh ulama menyatakan: “Popularitas sebuah perbuatan dan penyebarannya, sama sekali tidak menunjukkan kebolehannya, sebagaimana halnya keterasingan sebuah perbuatan, bukan dalil bahwa perbuatan itu dilarang”.
Ibnu Muflih mengatakan di dalam kitab Al Adabusy Syar’iyyah (I/263): “Perlu diketahui, banyak perbuatan yang dilakukan oleh mayoritas manusia justru bertentangan dengan syariat. Lalu perbuatan itu menjadi populer di tengah-tengah mereka. Lalu banyak pula manusia yang mengikuti perbuatan mereka tersebut. Satu hal yang sudah jelas bagi seorang yang berilmu ialah menolak hal tersebut, baik diungkapkan lewat perkataan maupun perbuatan. Janganlah ia mundur karena merasa asing dan karena sedikitnya pendukung”.
Imam an Nawawi rahimahullah berkata: “Janganlah seorang insan terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang melakukan perbuatan yang dilarang melakukannya, yaitu orang-orang yang tidak mengindahkan adab-adab Islam. Ikutilah perkataan al Fadhl bin Iyadh, ia berkata: ˜Janganlah merasa asing dengan jalan hidayah karena sedikitnya orang yang melaluinya. Dan jangan pula terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang sesat binasa.”[2]
Abul Wafaa’ Ibnu ‘Uqail berkata di dalam kitab al Funun: “Siapa saja yang membangun aqidahnya di atas dalil, maka tidak perlu ia berkamuflase untuk menenggang orang lain. Allah berfirman:
أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
“Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)” [Ali Imran : 144]
Dalam hal ini Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu a’nhu termasuk orang yang tetap teguh menghadapi simpang siur pendapat manusia. Tekanan-tekanan dari kanan dan kiri yang kerap kali membuat manusia tergelincir tidaklah membuat beliau Radhiyallahu ‘anhu labil atau maju mundur…”
Demikianlah seharusnya seorang mukmin yang memegang teguh Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah maraknya bid’ah dan ahli bid’ah. Dia harus memiliki pendirian yang kuat dan tidak terpengaruh dengan tekanan-tekanan di kanan kirinya, yang terkadang membuatnya goyah dan mundur ke belakang. Banyak saudara kita dari kalangan ahlu sunnah menjadi lemah pendiriannya karena merasa terasing di tengah masyarakatnya yang rata-rata sebagai pelaku bid’ah. Dia sering dianggap asing dan aneh. Lalu penyakit futurpun mulai menyerang hatinya, sehingga mulailah sikapnya melemah, sedikit demi sedikit dan lambat laun ia mengikuti bid’ah-bid’ah tersebut. Ambillah pelajaran dari keteguhan sikap Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dalam menjalankan pesan-pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perlu ia camkan baik-baik, bahwa ia sendirilah yang akan mempertanggung jawabkan amal perbuatannya, bukan orang lain. Jadi, janganlah ia terpengaruh dengan ucapan-ucapan jahil di kanan kirinya. Terutama bagi orang awam yang sering menjadikan jumlah sebagai ukuran. Seperti perkataan mereka, bagaimana dihukumi sesat atau bid’ah, sementara kaum muslimin sejak dahulu sampai sekarang terus melakukannya? Atau perkataan mereka, mungkinkah perbuatan itu disebut bid’ah, padahal banyak orang yang membolehkan dan bahkan mengerjakannya?
Banyak sekali ayat yang menjelaskan, jumlah yang banyak sering kali memperdaya manusia. Diantaranya adalah firman Allah:
َإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah”. [Al An'am : 116].
قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”. [Al Maidah : 100].
Allah Azza wa Jalla telah menegaskan, bahwa manusia yang menentang itu memang lebih banyak jumlahnya:
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya”. [Yusuf:103].
Sebaliknya, merupakan sunnatullah bahwa para pengikut kebenaran dan yang tetap teguh di atas perintah Allah itu jumlahnya sedikit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Dan tidaklah beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit saja”.[Huud : 40].
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّاهُمْ
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini”. [Shad : 24].
Allah juga telah menyebutkan salah satu karakteristik pengikut setia ajaran para nabi itu lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan orang-orang yang menentang.
إِنَّ هَؤُلآءِ لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ
“(Fir’aun berkata): “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil (sedikit jumlahnya)”. [Asy Syu'araa : 54].
Dan Allah berfirman:
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih” [Saba' : 13].
Masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan ini.
Al Allamah Ibnu Qayyim al Jauziyah berkata di dalam kitab Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidis Syaithaan, hlm. 132-135: “Orang yang mempunyai bashirah dan kejujuran, tidaklah merasa asing karena sedikitnya pendukung dan karena kehilangan dukungan. Apabila hatinya merasa telah menyertai generasi awal yang telah Allah beri nikmat atas mereka dari kalangan nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang shalih, sungguh mereka adalah sebaik-baik penyerta. Keterasingan seorang hamba dalam perjalanannya menuju Allah merupakan bukti ketulusan niatnya”.
Ishaq bin Rahuyah pernah ditanya tentang sebuah masalah, lalu iapun menjawabnya. Kemudian dikatakan kepadanya: “Sesungguhnya saudaramu, Imam Ahmad bin Hambal juga berpendapat seperti itu”. Maka beliau berkata: “Aku kira tidak ada orang lain yang sependapat denganku dalam masalah ini”.
Setelah nyata kebenaran itu bagimu, maka janganlah merasa asing karena tidak ada orang yang menyertaimu. Karena apabila kebenaran itu bersinar, maka cahayanya akan tampak dan tidak butuh lagi penguat untuk menguatkannya. Hati dapat menilai kebenaran sebagaimana mata dapat melihat matahari. Apabila seseorang telah melihat matahari, maka tidak perlu lagi bukti lain untuk menguatkan pengelihatannya itu.
Sungguh baik apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Abu Syaamah dalam bukunya al Hawaadits wal Bida’: “Perintah untuk melazimi jama’ah, maksudnya ialah melazimi kebenaran dan mengikutinya walaupun yang mengikutinya sedikit dan yang menyelisihinya banyak jumlahnya. Karena kebenaran itu ialah yang dipegang oleh jama’ah pertama dari zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat beliau. Jadi, janganlah engkau melihat banyaknya pelaku bid’ah sesudah mereka”.
Amru bin Maimun al Audi berkata: “Aku menyertai Mu’adz di Yaman, dan aku tidak meninggalkannya hingga aku memakamkan jenazahnya di Syam. Kemudian sesudah itu aku menyertai orang yang paling faqih, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Aku mendengar beliau mengatakan, hendaklah kalian memegang teguh jama’ah. Karena tangan Allah di atas jama’ah. Kemudian suatu hari aku mendengar beliau berkata, nanti kalian akan diperintah oleh para penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktunya. Shalatlah kalian tepat pada waktunya, itulah shalat fardhu bagi kalian, lalu shalatlah bersama mereka, dan itu menjadi shalat sunnat bagi kalian,” maka aku berkata: “Wahai sahabat Rasulullah, aku belum paham apa yang engkau sampaikan itu”.
“Apa itu?” selidik beliau.
Aku berkata, Engkau suruh aku mengikuti jama’ah dan menganjurkanku kepadanya. Kemudian engkau katakana, Shalatlah sendiri di awal waktu, dan itu menjadi shalat wajib bagi kalian. Lalu shalatlah bersama jama’ah, dan itu menjadi shalat sunnat.”
Maka Ibnu Mas’ud berkata: “Wahai Amru bin Maimun! Tadinya aku kira engkau adalah orang yang paling paham di kampung ini. Tahukah engkau, apa itu jama’ah?”
Aku menjawab: “Tidak!”
Beliau berkata: “Sesungguhnya mayoritas manusia itulah yang menyelisihi jama’ah. Sesungguhnya jama’ah itu adalah yang sesuai dengan kebenaran, walaupun engkau seorang diri” [3].
Nu’aim bin Hammad berkata: “Yakni apabila jama’ah manusia sudah rusak, maka hendaklah engkau mengikuti jama’ah awal sebelum rusak, walaupun engkau seorang diri. Karena engkaulah jama’ah di kala itu”.
Cobalah simak perkataan Imam al Auzaa’i berikut ini: “Hendaklah engkau mengikuti jejak Salaf, walaupun manusia menolakmu. Dan tinggalkanlah pendapat manusia, walaupun mereka menghiasinya dengan kata-kata manis“.
Demikianlah kondisinya, seperti yang digambarkan oleh al Hasan al Bashri: “Sesungguhnya Ahlu Sunnah adalah yang minoritas jumlahnya pada masa lalu dan pada masa yang akan datang”.
Seperti itulah kondisi yang dialami oleh al Imam asy Syatibi dalam menghadapi orang-orang pada zamannya. Beliau menuturkan : “Aku dihadapkan kepada dua pilihan. Aku tetap mengikuti sunnah tetapi menyelisihi adat kebiasan manusia. Maka aku pasti mengalami apa yang dialami oleh siapa saja yang menyelisihi adat kebiasaan. Apalagi mereka menganggap adat yang mereka lakukan itu adalah sunnah. Jelas, hal itu merupakan beban yang berat, namun di dalamnya tersedia pahala yang besar. Atau aku mengikuti adat kebiasaan mereka tetapi menyelisihi sunnah dan Salafush Shalih. Maka akupun dimasukkan ke dalam golongan orang-orang sesat, wal iyadzu billah. Hanya saja, aku dipandang telah mengikuti adat, dipandang sejalan dan bukan orang yang menyelisihi. Maka aku lihat, bahwa hancur karena mengikuti sunnah adalah jalan keselamatan. Sesungguhnya manusia itu tidak ada gunanya bagiku nanti di hadapan Allah“.
Itulah makna dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Sesungguhnya Islam itu awalnya asing, kemudian akan kembali menjadi asing seperti awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing”.
Coba simak wasiat Sufyan ats Tsauri rahimahullah berikut ini: “Tempuhlah jalan kebenaran dan janganlah merasa asing karena sedikitnya orang-orang yang melaluinya sehingga membuatmu ragu-ragu”.
Bukankah ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang perpecahan umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan yang selamat darinya cuma satu golongan saja? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
“Umat Yahudi terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan. Umat Nasrani terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan”.[4]
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan satu golongan yang selamat itu:
كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu al Jama’ah” [5]
Adapun tentang tafsir al jama’ah telah kita sebutkan di atas.
Kesimpulannya, janganlah kita terpukau dengan banyaknya bid’ah dan para pelakunya. Jangan pula kita merasa asing dalam mengamalkan Sunnah karena sedikitnya jumlah orang-orang yang mengikutinya. Karena yang menjadi ukuran adalah hujjah dan dalil al Qur`an dan as Sunnah menurut pemahaman Salaf, bukan kwantitas atau jumlah.
Maraji :
1. Ilmu Ushul Bida’, Syeikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
2. Al I’tishaam, Al Imam asy Syathibi.
3. Al Adabusy Syar’iyyah, Ibnu Muflih.
4. Syarah Ushul I’tiqad Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Al Laalikaai.
5. Tafsir Ibnu Katsir.
6. Al Bida’ al Hauliyah.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah IstiqomahSurakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnotes.
[1]. Diriwayatkan oleh al Laalikaai (nomor 126), Ibnu Baththah (205), al Baihaqi dalam kitab al Madkhal Ilas Sunan (191), Ibnu Nashr dalam kitab as Sunnah (nomor 70).
[2]. Ucapan ini dinukil oleh adz Dzahabi dalam kitab Tasyabbuhil Khasis, halaman 33.
[3]. Al-Laalikaai dalam as Sunnah (nomor 160)
[4]. Hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (II/332), Abu Dawud dalam Sunan-nya (V/4) dalam kitab as Sunnah hadits nomor 4596. Lafazh di atas adalah riwayat Abu Dawud, at Tirmidzi dalam Jami’-nya (IV/134-135) dalam Abwaabul Imaan, hadits nomor 2778, beliau berkata: “Hadits hasan shahih”. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1321) dalam kitab al Fitan hadits nomor 3991 secara ringkas.
[5]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1322) dalam kitab al Fitan, hadits nomor 3993, dalam az Zawaa-id dikatakan: “Sanadnya shahih dan perawinya tsiqah”.
al-Fikrah.net
Filed Under: al-Quran wa Sunnah
0 comments
Trackback URL | Comments RSS Feed